Bersikap Lembut—Langkah yang Bijaksana
Antonia, seorang perawat, memencet bel dan seorang wanita berumur 50-an membuka pintu. Wanita itu memaki dan memarahi Antonia. Ia merasa bahwa Antonia datang terlambat untuk mengurus ibunya yang sudah lansia. Antonia sebenarnya tidak terlambat. Meski begitu, ia dengan tenang meminta maaf atas kesalahpahaman yang terjadi.
PADA kunjungan berikutnya, wanita itu marah-marah lagi kepadanya. Apa tanggapan Antonia? ”Saya benar-benar kesal,” kata Antonia. ”Kata-katanya yang kasar itu tidak beralasan.” Namun, ia meminta maaf lagi dan menyatakan bahwa ia mengerti kesulitan wanita itu.
Kalau Saudara adalah Antonia, apa reaksi Saudara? Apakah Saudara akan berupaya bersikap lembut? Apakah Saudara sulit mengendalikan diri? Memang, tidak mudah untuk tetap tenang dalam situasi yang disebutkan sebelumnya. Sewaktu sedang stres atau dipanas-panasi, kita perlu berjuang untuk bisa tetap bersikap lembut.
Alkitab menasihati orang Kristen untuk bersikap lembut. Malah, Firman Allah mengaitkan sikap itu dengan kebijaksanaan, atau hikmat. Yakobus bertanya, ”Siapa yang berhikmat dan berpengertian di antara kamu? Dari tingkah lakunya yang baik, biarlah ia memperlihatkan perbuatannya yang disertai kelemahlembutan yang berkaitan dengan hikmat.” (Yak. 3:13) Mengapa bisa dikatakan bahwa orang yang lembut memiliki hikmat dari atas? Bagaimana caranya memupuk sifat yang baik ini?
MENGAPA KELEMBUTAN ITU BIJAKSANA?
Kelembutan bisa meredakan ketegangan. ”Jawaban yang lemah lembut menjauhkan kemurkaan, tetapi perkataan yang memedihkan hati menimbulkan kemarahan.”—Ams. 15:1.
Jika kita menanggapi suatu situasi yang menjengkelkan dengan marah, keadaannya bisa menjadi lebih buruk. Ini bagaikan menambah minyak ke api. (Ams. 26:21) Sebaliknya, jawaban yang lembut sering kali bisa menenangkan orang. Hal itu bahkan bisa melembutkan sikap orang yang tidak suka dengan kita.
Antonia mengalami sendiri hal ini. Karena tanggapan Antonia yang lembut, wanita itu tidak bisa menahan tangisnya. Ia menjelaskan bahwa ia sedang dibanjiri masalah pribadi dan masalah keluarga. Antonia pun memberikan kesaksian yang jitu sehingga wanita itu mau belajar Alkitab. Itu semua karena sikap Antonia yang tenang dan suka damai.
Kelembutan bisa membuat kita bahagia. ”Berbahagialah orang-orang yang berwatak lembut, karena mereka akan mewarisi bumi.”—Mat. 5:5.
Mengapa orang yang lembut itu bahagia? Banyak orang yang dulunya ganas sekarang bahagia karena mereka ’mengenakan kelemahlembutan’. Kehidupan mereka menjadi lebih baik, dan mereka tahu bahwa mereka akan menikmati masa depan yang cerah. (Kol. 3:12) Adolfo, seorang pengawas wilayah di Spanyol, mengenang bagaimana kehidupannya sebelum masuk kebenaran.
”Saya tidak punya tujuan hidup,” kata Adolfo. ”Saya sering naik darah sehingga bahkan beberapa teman saya takut dengan reaksi saya yang suka menghina dan beringas. Suatu waktu, saya berkelahi dan ditikam enam kali dan hampir mati karena kehabisan darah. Itu menjadi titik balik dalam hidup saya.”
Sekarang, melalui kata-kata dan tindakannya, Adolfo mengajar orang lain untuk menjadi lembut. Banyak orang suka kepadanya karena ia ramah dan menyenangkan. Ia bercerita bahwa ia senang melihat perubahan yang ia buat. Dan, ia bersyukur kepada Yehuwa karena telah membantunya memupuk kelembutan.
Kelembutan membuat Yehuwa bahagia. ”Hendaklah berhikmat, putraku, dan buatlah hatiku bersukacita, agar aku dapat memberikan jawaban kepada dia yang mencela aku.”—Ams. 27:11.
Yehuwa dicela oleh Iblis, musuh utama-Nya. Allah sebenarnya bisa saja marah besar karena penghinaan itu. Tapi menurut Alkitab, Yehuwa itu ”lambat marah”. (Kel. 34:6) Jika kita berupaya keras meniru sifat Allah yang lambat marah dan lembut, kita bertindak bijaksana sehingga Yehuwa sangat senang.—Ef. 5:1.
Dunia ini umumnya penuh dengan kebencian. Bisa jadi, kita bertemu dengan orang yang ”congkak, angkuh, penghujah, . . . pemfitnah, tidak mempunyai pengendalian diri, garang”. (2 Tim. 3:2, 3) Meski begitu, seorang Kristen tetap bisa memupuk kelembutan. Firman Allah mengingatkan kita bahwa ”hikmat yang datang dari atas adalah . . . suka damai, bersikap masuk akal”. (Yak. 3:17) Jika kita suka damai dan bersikap masuk akal, itu berarti kita sudah memiliki hikmat dari Allah. Dengan begitu, kita akan bersikap lembut sewaktu terpancing untuk marah dan akan semakin akrab dengan Yehuwa, Sumber dari hikmat yang tidak terhingga.